HISTORISITAS
HISAB I
(Kaleidoskop
Aplikasi Ilmu Falak di Masa Nabi, Sahabat dan Tabi’in)
Oleh
: Muthi’ah Hijriyati, M.Th.I
A. Pendahuluan
Membincangkan keilmuan Hisab atau Falak, tentu tidak
bisa lepas dari konteks kesejarahan dan perkembangannya dari masa ke masa. Karena
bagaimanapun juga, sejarah peradaban manusia tentu tidak lepas dari sejarah
keilmuannya. Hingga dalam term perkembangan astronomi di dunia, setidaknya
terdapat tiga periode besar yang urgent dan tidak bisa diabaikan, yakni
astronomi Yunani kuno yang banyak memberi inspirasi pada masa Golden Age
Islam, masa Islam hingga selanjutnya berpindah ke Barat.
Wajar jika keilmuan Falak dan Hisab sempat
berkembang pesat di dunia Timur, mengingat stimulasi dan dorongan untuk
“membaca” langit dan alam banyak ditemukan dalam al-Quran yang notabene
kitab petunjuk beragama. Hal ini didukung pula dengan adanya taklif
ibadah bagi umat muslim yang mau tidak mau sangat terikat erat dengan petunjuk
waktu seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
Maka mengkaji perkembangan keilmuan ini, layak
kiranya pula untuk mengupas sisi historis dan rekam jejak perkembangannya di
masa awal munculnya Islam, yakni di masa nabi, sahabat dan tabi’in yang relatif
penuh dinamika intrik politik, sosial, keagamaan dan sebagainya. Hal ini
penting mengingat di masa inilah proses turun dan dialog umat dengan sumber
hukum masih terbuka. Namun dalam makalah ini, pemakalah tidak membahas detail
terkait pro-kontra pemaknaan hisab dulu dan sekarang. Makalah ini lebih
berfokus pada perkembangan Ilmu Hisab secara umum mengacu pada teks-teks
keagamaan berdasar nalar sejarah. Semoga bermanfaat..
B. Interpretasi Hisab
Hisab berasal dari
bahasa Arab hisban, hisa>ban
atau hisa>batan yang bermakna menghitung( Ibnu Manz}u>r, t.t, 865).
Kata ini cukup populer dalam bahasa Arab dan memiliki beragam bentuk dan makna.
Jika diartikan menghitung, kata ini berakar dari fi’il mad}i
hasaba yahsubu. Berbeda jika dari bentuk hasiba yahsabu, bentukan
kata ini diartikan sebagai menduga, menyangka atau mengira ( Ahmad Warson
Munawwir, 261).
Dengan segala
derivasinya, kata ini disebutkan dalam al-Quran sebanyak 109 kali yang memiliki beragam makna pula
(Fuad Abdul Ba>qi, 200-
201).
Namun dari sekian bentuk, kata hisab yang berfokus pada makna menghitung waktu tertulis
dalam bentuk masdar saja, sebagaimana ayat:
uqèd
Ï%©!$# @yèy_ [ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# Ï9ºs wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ã@Å_Áxÿã ÏM»tFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt ÇÎÈ
“Dia-lah yang
menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”.
Sedang
penggunaan dalam bentuk fi’il dengan fokus pada arti ini bisa terlihat
pada hadis, sebagaimana contoh:
عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلي الله عليه
وسلم أنه قال إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا وهكذا يعني مرة
تسعة وعشرين ومرة ثلاثين
Selanjutnya
dengan berfokus pada makna diatas, hisab sering disinonimkan dengan kata falak,
miqa>t, ras}du, haiah hingga asronomi (Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyyah, 2009, 3-4). Adapun secara istilah, kata hisab sendiri
memiliki beragam definisi pula, diantaranya menurut Muhyidin Khazin (2011: 1) yang memaknai
hisab atau falak sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda
langit –khususnya Bumi, Bulan, dan Matahari- pada orbitnya masing-masing dengan
tujuan untuk diketahui posisi benda langit antara satu dengan lainnya, agar
dapat diketahui waktu-waktu di permukaan bumi.
Sedang menurut Ahmad Izzuddin (2012: 1) ilmu
hisab didefinisikan sebagai ilmu
yang mempelajari tentang lintasan benda-benda langit, diantaranya Bumi, Bulan,
dan Matahari. Benda-benda Langit tersebut berjalan sesuai orbitnya
masing-masing. Dan dengan orbit tersebut dapat digunakan untuk mengetahui
posisi benda Langit antara satu dengan lainnya. Sedang makna ini disinonimkan
dengan hisab adalah karena kegiatan yang paling menonjol dari ilmu adalah
dengan melakukan perhitungan-perhitungan. Namun meski demikian, Ahmad Izzuddin
tidak sepenuhnya sepakat dengan penggunaan istilah ilmu hisab, karena dalam
keilmuan ini cara kerja ilmiahnya tidak semata-mata dengan hisab (perhitungan),
namun juga dengan rukyah (observasi). Hingga menurut beliau lebih tepat jika
dikatakan ilmu hisab rukyat (2012:1).
Adapun pokok bahasan dalam ilmu ini
adalah menentukan waktu dan posisi benda langit yang secara langsung ataupun
tidak memiliki implikasi terhadap pelaksanaan ibadah yang terikat dengan waktu.
Hingga obyek kajian ilmu ini adalah berkisar pada penentuan arah kiblat, awal
waktu shalat, awal bulan (yakni bulan-bulan hijriyah khususnya ramadhan,
syawwal dan dhulhijjah) serta penentuan gerhana matahari dan bulan (Ahmad
Izzuddin, 2012:3).
Sedangkan perangkat keilmuan, pendekatan, tata cara dan metode
yang digunakan tentu saja tidak stagnan dan selalu berkembang dari masa ke masa
sesuai perkembangan keilmuan dan teknologi manusia. Maka wajar jika hisab yang
kita pahami dan praktekkan pada saat ini berbeda dengan karya ulama’ terdahulu
dalam kitab klasik, terlebih dengan masa awal kelahiran Islam di kurun abad
ke-7 hingga 8 Masehi.
C. Historisitas dan Perkembangan Hisab
Kemajuan peradaban suatu bangsa atau wilayah pada
dasarnya memang sangat dipengaruhi oleh kemajuan pengetahuan yang dicapai di zamannya.
Begitu pula dalam ranah kajian ilmu hisab atau falak yang pernah menjadi bagian
dari golden age kebudayaan dan peradaban Islam. Namun tidak bisa
dipungkiri kalau perkembangan keilmuan selalu bersifat melengkapi dan bahkan
menjadi antithesis dari penemuan dari manusia di zaman atau peradaban
sebelumnya.
Tak
terkecuali dalam keilmuan ini, Dr. Yahya Syami sebagaimana dikutip oleh
Susiknan Azhari membagi perkembangan ilmu falak dalam dua fase, yakni fase Pra
Islam dan fase Islam (2007: 6). Fase pra-Islam dimulai dari bangsa Babilonia
yang banyak menggunakan petunjuk gerakan benda langit sebagai pedoman atau
ramalan kehidupan mereka. Meski demikian, bangsa ini sudah mampu mengetahui
kapan terjadinya gerhana dengan petunjuk rasi bintang. Dalam bentuk sederhana,
mereka pun sudah menciptakan tabel-tabel
kalender khusus untuk pergantian musim, waktu, bulan, gerhana dan pemetaan
langit. Masyarakat Babilonia juga yang merumuskan
penetapan waktu dalam satu hari sebanyak 24 jam. Dimana satu jam adalah 60
Menit dan satu menit adalah 60 detik, mereka menyebutnya dengan sebutan hukum Sittiny
yaitu hukum per-enam puluh. Karena mereka menganggap bahwa keadaan bumi adalah
bulat dan berbentuk lingkaran 360 derajat dan pembagiannya habis dengan 60 (Muhi>t al
Ard{). Selain itu, mereka juga
telah menetapkan peredaran bulan mengelilingi bumi membutuhkan waktu 29. 530594
hari (Muhammad Ba>sil al-T{a>i, 2007, 40).
Setelah Babilonia, terdapat bangsa Mesir Kuno yang
mampu menangkap fenomena alam berupa pasang surutnya sungai Nil yang ditandai
dengan munculnya bintang Sirius di sebelkah selatan setiap tanggal 19 tamuz
atau juli (Muhammad Ba>sil al-T{a>i, 2007, 43). Selain
itu terdapat pula bangsa Mesopotamia, Cina, India, Perancis serta Yunani yang
memunculkan teori dan warna baru dalam perkembangan astronomi manusia.
Dari fase ini, agaknya Yunani yang banyak berpengaruh dalam
perkembangan astronomi dan keilmuan falak (hisab) Arab. Saat Masa kejayaan
Yunani berakhir, pusat peradaban dan perkembangan ilmu dunia memang berpusat
pada dunia Timur yang notabene di bawah kekuasaan Islam. Masa ini
tergolong cukup lama dibanding peradaban lain yakni selama kurang lebih 14
abad. Fakta sejarah menyatakan, masa Golden age dunia Islam memang
berbanding terbalik dengan dunia Barat yang berada dalam masa kegelapan (dalam
keilmuan Filsafat biasa dikatakan sebagai fase skolastik) dan berada di bawah
kontrol gereja. Berfokus pada perkembangan falak di dunia Islam, Donald
Routledge sebagaimana dikutip Anton Ramdan (2009: 30-43) membaginya dalam 4 periode
secara spesifik, yakni:
1.
Periode 700 M – 825 M
Yakni masa penerjemahan buku-buku
astronomi dari India dan Yunani seperti Zij al-Sindhind, Almagest karya Ptolemy
dan penulisan buku astronomi Zij ala Sinin al-Arab oleh Muhammad al-Fazari pada
790 M.
2.
Periode 825 M – 1025 M
Yakni di masa pemerintahan Abbasiyyah dengan
adanya Baitul Hikmah yang menjadi wadah lahir dan berkembangnya pengetahuan dan
peradaban Islam. Dari masa ini muncullah nama al-Khawarizmi>,
al-Fargha>ni>, Muhammad Ibnu Musa hingga matematikawan dan astronom Abu
Wafa> Muhammad ibnu Muhammad al-Buzjani.
3.
Periode 1025 M – 1450 M
Di masa ini Islam memiliki Ibnu
al-Haitham yang mempelopori ilmu astronomi berdasar penelitian dengan teleskop,
al-Biru>ni dengan magnum opus nya kitab al-Qanu>n al-Mas’u>di,
Ulugh Beg dan sebagainya.
4.
Periode 1450 M – 1900 M
Masa ini adalah masa kemunduran
keilmuan falak dan astronomi Islam yang ironisnya bersamaan dengan
menggeliatnya dunia keilmuan di Barat pasca masa Renaisense. Di masa ini
tidak banyak penemuan astronomi yang berarti dan penting selain pendirian
observatorium astronomi di Istambul oleh Taqi al-Din bin Ma’ruf.
Menariknya, dari pembagian fase periode
ini, tidak banyak ditemukan literatur dan referensi yang menjelaskan detail
terkait perkembangan keilmuan ini di kurun abad awal hijriah. Padahal fase ini
adalah masa kehidupan nabi Muhammad dan sahabat atau tabi’in yang otomatis
adalah masa ayat-ayat al-Quran dan hadis
masih berproses turun dan berdialektika. Artinya, saat itu umat Islam mengalami
fase perpindahan yang cukup signifikan, dari keyakinan nenek moyang menuju
agama samawi terakhir, dari aktifitas sosial dan keagamaan warisan turun
temurun menuju pola interaksi yang digariskan dalam al-Quran, khususnya taklif
terkait ibadah tertentu yang sangat terikat dengan waktu dan otomatis terkait
dengan keilmuan falak dan hisab.
1.
Hisab di Masa Nabi Muhammad saw
Tidak
bisa dipungkiri bahwa astronomi Yunani dan Romawi memberi pengaruh yang cukup
besar bagi bangsa Arab, mengingat bangsa ini cenderung nomaden dan
bepergian ke berbagai tempat untuk mendapatkan air dan menjalankan aktifitas
perdagangan hingga ke Syam dan Yaman. Pengetahuan terkait alam juga dibutuhkan
untuk mengetahui waktu musim panas dan dingin, arah mata angin dan sebagainya. Oleh
karena itu, wajar jika sebelum datangnya Islam pun masyarakat Arab telah
mengenal ilmu ini sebelumnya. Bangsa Arab membagi daerah peredaran bulan
menjadi 28 titik edar dan setiap harinya bulan berada di titik edarnya
masing-masing. (Muhammad Ba>sil al-T{a>i, 2007, 52).
Hanya saja, mereka belum
memiliki acuan hitungan terkait angka tahun. Masyarakat Arab bisa mengetahui
tanggal dan bulan, tapi tidak dengan tahunnya. Biasanya, acuan tahun yang
mereka gunakan adalah peristiwa terbesar yang terjadi ketika itu. Dalam
referensi sejarah biasanya ditemukan istilah tahun Gajah, karena pada saat itu
terjadi peristiwa besar yakni serangan pasukan gajah dari Yaman oleh raja
Abrahah. Tahun Fijar, karena ketika itu terjadi perang Fijar. Tahun renovasi
Ka’bah, karena ketika itu Ka’bah rusak akibat banjir dan dibangun ulang. Tahun
kesedihan atau ‘Am al-Huzni yang merupakan masa terberat nabi saat
ditinggal wafat istrinya Khadijah dan pamannya Abi T}alib, dan sebagainya.
Selanjutnya,
bangsa ini juga membagi tahun dalam jenis Shamsiyah dan Qamariyyah, namun untuk
agar hitungan keduanya sama maka setiap tahun kabisat (tahun panjang) dari
Qamariyyah terdiri dari 13 bulan -dikenal sebagai bulan sisipan atau nasi>’- (Muhammad
Ba>sil
al-T{a>i, 2007, 52).
Bangsa Arab sepakat bahwa tanggal satu
dimulai dengan kemunculan hilal dan memberi nama bulan-bulan seperti saat ini. Mereka
juga mengenal bulan-bulan suci yang diharamkan untuk berperang (yakni bulan
Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab). Namun karena alasan kepentingan
dan keuntungan kelompok dan individual maka kesucian bulan digeser pada bulan
selanjutnya (Kementerian Agama RI, 2012, 111-112), ini sebagaimana dalam QS
al-Taubah: 37 sebagai berikut:
$yJ¯RÎ) âäûÓŤ¨Y9$# ×oy$tÎ Îû Ìøÿà6ø9$# ( @Òã ÏmÎ/ úïÏ%©!$# (#rãxÿx. ¼çmtRq=Ïtä $YB%tæ ¼çmtRqãBÌhptäur $YB%tæ (#qä«ÏÛ#uqãÏj9 no£Ïã $tB tP§ym ª!$# (#q=Åsãsù $tB tP§ym ª!$# 4 ÆÎiã óOßgs9 âäþqß óOÎgÎ=»yJôãr& 3 ª!$#ur w Ïôgt tPöqs)ø9$# úïÍÏÿ»x6ø9$# ÇÌÐÈ
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu adalah menambah
kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu,
mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang
lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah
mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (syaitan)
menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.
Namun karena kaitan yang erat dengan
persoalan ibadah pula agaknya menjadikan “manupilasi” perhitungan bulan ini
secara tegas diatur dan dilarang dalam ranah teologis, sebagaimana dalam ayat:
¨bÎ) no£Ïã Íqåk¶9$# yZÏã «!$# $oYøO$# u|³tã #\öky Îû É=»tFÅ2 «!$# tPöqt t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# ßöF{$#ur !$pk÷]ÏB îpyèt/ör& ×Pããm 4 Ï9ºs ßûïÏe$!$# ãNÍhs)ø9$# 4 xsù (#qßJÎ=ôàs? £`ÍkÏù öNà6|¡àÿRr& 4 (#qè=ÏG»s%ur úüÅ2Îô³ßJø9$# Zp©ù!%x. $yJ2 öNä3tRqè=ÏG»s)ã Zp©ù!$2 4 (#þqßJn=÷æ$#ur ¨br& ©!$# yìtB tûüÉ)GãKø9$# ÇÌÏÈ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi
Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan
langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang
lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri[kamu dalam bulan yang empat itu, dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu
semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”.
Jika dicermati mendalam, kedua ayat
diatas adalah berjenis Madaniyyah yang berarti aturan ini berlaku
setelah beberapa saat Islam turun. Artinya, di awal Islam di periode Makkah,
praktek “manipulasi” ini belum secara tegas dilarang. Haji dan shalat pun belum
disyariahkan selain mengikuti tradisi dan ajaran sejak nabi Ibrahim as. Mengacu
pada pemaknaan Makkiyah, hal ini wajar mengingat stressing da’wah Islam
di masa Makkah adalah pada penyadaran aqidah umat, penguatan keimanan serta
pembentukan akhlak karimah dan pranata sosial yang sederhana.
Berdasar catatan sejarah, shalat baru
diwajibkan pada 16 bulan sebelum nabi hijrah ke Madinah pada peristiwa Isra’
Mi’raj (Abdul Hasan Ali al-Nadwi, 2012, 159). Sedangkan puasa Ramadhan sebagai
ibadah wajib bagi umat Islam diwajibkan pada tahun kedua Hijriah. Adapun aturan
dan syariah lain yang terikat waktu sebagaimana hukum ‘iddah juga baru
diturunkan di periode Madinah. Ini menegaskan bahwa ibadah dan kewajiban
keagamaan yang menuntut penguasaan dan kemahiran “membaca” langit baru baru
hadir sekitar di paruh akhir masa kenabian.
Saat itu, bangsa Arab –khususnya umat
Islam- di satu sisi memang terkenal dengan kelebihan kecerdasan dalam
menghafal, namun di sisi lain tergolong kurang dalam kecakapan membaca, menulis
dan berhitung. Kesimpulan ini didasari hadis nabi Muhammad:
عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلي الله عليه
وسلم أنه قال إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا وهكذا يعني مرة
تسعة وعشرين ومرة ثلاثين[1]
“Dari Ibnu ‘Umar ra dari nabi Muhammad saw
(diriwayatkan) bahwa beliau bersabda: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi,
kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah
demikian-demikian, maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan
kadang-kadang tiga puluh hari”.
Ibnu Hajar menyatakan bahwa tidak bisa menulis dan berhitung dalam teks hadis
ini dimaknai sebagai secara umum, artinya masih terdapat sahabat yang mengenal
baca tulis meski jarang. Selanjutnya hisab disini dimaknai pula sebagai hisab
bintang-bintang dan peredarannya. Hingga nabi mengaitkan hukum puasa dan
lainnya dengan rukyah untuk menghindarkan umat dari kesulitan dalam melakukan
hisab peredaran bintang-bintang tersebut(T.t: 127). Hal yang layak diamati dari
teks ini adalah bahwa nabi Muhammad sendiri sudah menyadari bahwa perhitungan
akan peredaran bintang dan benda angkasa lainnya adalah bukan hal yang
mustahil, meski secara pengetahuan umat Islam belum mencapai fase tersebut.
Hal lain yang perlu dicatat adalah
bahwa di tahun 2 Hijriyah pula terjadi perang Badar yang menuai hasil
kemenangan bagi umat Islam. Dari sekian tawanan perang, tebusan yang diinginkan
umat Islam tidak selalu berupa harta benda, namun juga dengan mengajarkan
membaca dan menulis pada anak-anak kaum muslim, diantara sahabat yang belajar
dengan cara ini adalah Zaid bin Thabit (Abdul Hasan Ali al-Nadwi, 2012, 263).
Dan dikemudian hari, Zaid dikenal karena kontribusinya yang besar dalam pembukuan al-Quran. Ini
mengindikasikan bahwa secara bertahap pada dasarnya nabi membuka jalan bagi
umat Islam untuk mampu menguasai baca tulis sebagai step awal untuk membuka
cakrawala pengetahuan dan peradaban umat Islam.
Selain itu, Ali bin Abi> T{alib pun
dikenal sebagai sahabat yang cerdas dan menguasai beragam keilmuan. Diantara
bukti keahlian matematika Ali adalah kisah saat seorang pendeta yang melakukan test
case terhadap Ali dengan menanyakan bilangan yang habis dibagi angka satu
hingga sepuluh. Ali tidak lantas memberi jawaban, namun meminta pendeta Yahudi
tersebut untuk mengkalikan jumlah hari dalam sebulan dengan jumlah bulan dalam
setahun serta jumlah hari dalam seminggu. Dari 30 x 12 x 7 diperoleh angka 2520
yang merupakan bilangan terkecil yang bisa dibagi angka 1 hingga 10 (Husein
Heriyanto, 2011, 106). Dalam istilah aritmatika saat ini, hal tersebut dipahami
sebagai KPK.
Hal yang menarik bukan pada ketepatan
jawaban Ali, namun pada kecerdasannya dalam mengilustrasikan jawaban dengan
cara yang relatif mudah dipahami dan menghubungkannya dengan konsep ruang dan
waktu yang digunakan manusia sehari-hari. Jawaban ini memicu analisis bahwa Ali
memaknai bahwa rumusan matematika merupakan dunia yang tak terpisahkan dari
dunia nyata, Bahwa bisa jadi menurut Ali angka-angka itu berkorelasi dengan
fenomena kosmologis atau justru fenomena alam raya memiliki rumusan matematis
yang serasi (Husein Heriyanto, 2011, 107).
Dari sini dapat dikatakan, bahwa secara
sederhana keilmuan Falak juga dipraktekkan nabi dan sahabatnya. Hanya saja di
masa ini, penentuan awal waktu shalat atau awal bulan yang berimplikasi
langsung pada banyak ibadah hanya melalui observasi (rukyah) dan melihat
langit. Tidak dengan pengamatan mendalam dan hitungan matematis. Jika pun ada
sahabat yang mampu membaca, menulis hingga melakukan perhitungan maka itu
sangat terbatas dan tidak dikuasai secara umum.
2.
Hisab di Masa Sahabat
Mengacu
pada definisi Ibn Ha>jar (1853: 4),
sahabat dimaknai sebagai orang yang berinteraksi dengan nabi Muhammad saw,
beriman pada Islam dan meninggal dalam kondisi Islam[2].
Hingga dari definisi ini dapat dipetakan bahwa sahabat nabi bukan hanya
nama-nama besar yang tercatat dalam sejarah, namun banyak pula yang tergolong
sahabat kecil karena interaksi yang sesaat dengan nabi. Sebagian dari mereka
masih hidup dalam kurun waktu lama dan tersebar di beberapa wilayah sebagai
konsekwensi logis dari semakin luasnya wilayah Islam. Tercatat bahwa sahabat
yang terakhir meninggal adalah Abu Thufail ‘Amir bin
Wathilah al-Laithi pada tahun 100 H di Makkah.
Namun meski demikian, hal yang perlu
dicermati dari masa ini adalah adanya penetapan tahun Hijriah di masa
pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khattab pada tahun 17 H sebagai tonggak
sejarah baru umat Islam dalam dunia ilmu hisab dan astronomi. Dalam penuturan
sebelumnya dikatakan bahwa umat Islam memang telah mengenal sistem kalender
sederhana, yakni dengan mengetahui tanggal dan bulan tanpa tahun. Dalam kurun
waktu tertentu hal ini tentu menjadi penyebab kerancuan sebagaimana kasus surat
Abu Musa al-Ash’ari yang merupakan gubernur Basrah pada Umar, Abu Musa
menyatakan (Ibn Hajar al-‘Asqala>ni, T.t, 268){:
إنه يأتينا من أمير المؤمنين كتب، فلا ندري على
أيٍّ نعمل، وقد قرأنا كتابًا محله شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي
“Telah datang kepada kami beberapa surat dari
amirul mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya.
Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak
tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Dari
sini, Khalifah ‘Umar akhirnya mengumpulkan sahabat dan bermusyawarah tentang
urgennya keberadaan kalender. Terdapat empat usulan tentang awal waktu
perhitungan kalender ini, yakni berdasar tahun kelahiran nabi Muhammad saw,
tahun diutusnya nabi sebagai Rasul, tahun hijrahnya nabi Muhammad ke Madinah
dan tahun wafat beliau. Dari perdebatan dan diskusi panjang pada akhirnya ‘Umar
menyetujui usul dan argumentasi ‘Ali bin Abi T{alib agar berdasar tahun hijrahnya
nabi Muhammad (Muhammad Rid}a, 1993, 176).
Adapun terkait penentuan
bulan pertama dalam kalender ini diputuskan pada bulan Muharram, berdasar usul
‘Uthman bin ‘Affan hal ini didasarkan pada beberapa argument, yakni:
a. Muharam merupakan bulan pertama dalam
kalender masyarakat Arab di masa masa silam.
b. Pada bulan ini, kaum muslimin baru saja
menyelesaikan ibadah yang besar yaitu haji ke baitullah.
c. Pertama kali munculnya tekad untuk hijrah
adalah terjadi di bulan Muharam. Karena pada bulan sebelumnya, Dzulhijah,
beberapa masyarakat Madinah melakukan Baiat Aqabah yang kedua (Ibn Hajar al-‘Asqala>ni, T.t, 268).
Dari sini dapat dipahami bahwa di masa
sahabat, perlahan keilmuan hisab mulia tertata dengan baik yang aplikasi
positifnya tidak hanya dalam penentuan waktu ibadah, namun juga bermanfaat bagi
kepentingan ekonomi, politik, dan pranata sosial dalam skup lebih luas. Di masa
ini, umat Islam yang mampu membaca dan menulis juga lebih banyak. Hal ini
terindikasikan dari finalnya pembukuan al-Quran dan disalin dalam beberapa
mushaf. Serta mulai diidekannya kodifikasi hadis sebagai antisipasi dari
bermunculannya hadis-hadis palsu.
3.
Hisab di Masa Tabi’in
Jika tabi’in
dimaknai sebagai murid langsung dari sahabat dan pernah berinteraksi meski
sesaat, maka diduga tabi’in terakhir yang meninggal adalah Khalaf bin
Khalifah yang wafat pada tahun 181 H. Di abad ini, umat Islam sedang berada
dalam masa transisi pemerintahan dari Bani Umayyah menuju Bani Abbasiyyah.
Sedikit banyak hal ini juga berpengaruh dalam pengembangan keilmuan. Di masa
dinasti Amawiyyah selama kurun 90 tahun, fokus pemerintahan memang pada
membangun dinasti yang kokoh dan ekspansi wilayah Islam. Karena itu, penelitian
dan pengembangan keilmuan relatif kurang mendapat apresiasi dari pemerintah.
Meski demikian,
bukan berarti masa ini adalah masa stagnansi keilmuan. Karena masa ini adalah
masa terpenting dalam sejarah kodifikasi hadis, juga keilmuan tafsir dan
asketisme. Sedang dalam sains dan pengetahuan alam, sejatinya terdapat semisal Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah bin Abi Sufyan (w. 85 H/ 704 H)
yang menekuni dunia keilmuan dan sains. Dalam sejarah dikatakan bahwa Khalid mundur
dari perebutan kekuasaan sebagai khalifah pasca pemerintahan ayahnya demi
menekuni dunia keilmuan[3].
Di
masa ini pula sejatinya penterjemahan buku-buku dari Yunani sebagai aplikasi
pengembangan ilmu pengetahuan berawal. Yakni meliputi buku-buku falak dan
astronomi, kedokteran hingga kimia dan sebagainya (Muhammad Ba>sil al-T{a>i, 2007, 55).
Meski telah dimulai sejak masa dinasti Umayyah, perkembangan sains dan keilmuan
falak dalam Islam sejatinya benar-benar dimulai saat dipimpin oleh dinasti
Abbasiyyah. Penerjemahan besar-besaran dan penelitian serta pengembangan
keilmuan Falak benar-benar didukung oleh para khalifah di kurun periode awal
bani Abbasiyyah. Dan dari dinasti inilah keilmuan hisab mencapai hasil gemilang
dan memberi sumbangsih yang sangat besar bagi perkembangan keilmuan hisab dan
astronomi dunia.
Hingga
jika mengacu pada teori circle Ibnu Khaldun, masa awal rintisan ilmu
hisab dalam Islam adalah dari periode nabi Muhammad, sahabat hingga tabi’in
yang disini banyak bertebaran stimulasi untuk menelaah alam semesta dari ayat
al-Quran ataupun hadis nabi Muhammad. Masa keemasannya adalah pada periode awal
Abbasiyyah dengan pembangunan Baitul Hikmah yang monumental serta lahirnya
banyak ahli sains muslim. Sebagai klimaks adalah pada kurun abad 16 yang
merupakan zaman keruntuhan kejayaan Islam sekaligus mulai bersinarnya peradaban
Barat.
D. Penutup
Peradaban Islam memang pernah berada pada masa
keemasan dan menjadi magnet bagi dunia, khususnya dalam sains dan keilmuan
astronomi secara umum. Hal ini wajar mengingat penguasaan terhadap ilmu falak
dan hisab menjadi sebuah “kebutuhan” sendiri bagi umat Islam, mengingat
kewajiban ibadah yang bersifat rutin harian maupun tahunan dan personal ataupun
sosial sangat terkait dengan kemampuan untuk menghitung dan “membaca” langit.
Inilah sebab mengapa meski dalam literatur dan
referensi dikatakan berkembang di kurun abad kedua, bukan berarti kita
mengabaikan sejarah dan perkembangan akar keilmuan ini di kurun fase pertama
Islam. Yakni di masa nabi Muhammad, sahabat dan tabi’in. Di masa ini proses
penurunan ayat dan dialog dengan nabi relatif masih berlangsung. Stimulasi
untuk mengembangkan keilmuan ini juga banyak didapat dari ayat-ayat al-Quran,
praktek sahabat dalam menentukan awal bulan atau bahkan proses penyusunan
kalender juga bagian dari fakta sejarah yang masih berupa puzzle yang
perlu disusun lengkap dengan masa keemasan keilmuan ini.
Hingga dari sini diharapkan dapat ditemukan kepingan
utuh bahwa keilmuan ini tidak serta merta muncul dengan menterjemahkan
buku-buku Yunani kuno saja, namun dengan proses dan langkah dan pengajaran
sederhana yang dimulai oleh nabi Muhammad saw. Wallahu a’lam..
Daftar Pustaka
Al-Bukha>ri.
Ja>mi’ Shahih al-Bukha>ri II. Kairo: Matba’ah al-Salafiyyah, T.t
Asqala>ni (al), Ibn Ha>jar. Al-Isa>bah fi
Tamyi>z al-S}aha>bah vol I. Mesir: Da>r al-Kutub. 1853
Asqala>ni (al), Ibn Ha>jar. Fathu al-Ba>ri vol
VII. Beirut: Da>r al-Ma’rifah. T.t
Azhari, Susiknan. Ilmu Falak; Perjumpaan Khazanah Islam
dan Sains Modern. Yogyakarta: Suara Muhammadiyyah. 2007
Ba>qi>
(al), Muh}ammad Fua>d. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfa>dh al-Quran
al-Kari>m. Kairo: Da>r al-H{adi>th. 1364 H
Heriyanto, Husain. Menggali Nalar Saintifik Peradaban
Islam. Bandung: Mizan. 2011
Izzuddin, Ahmad. Ilmu Falak Praktis. Semarang: Pustaka
Rizki Putra. 2012
Kementerian Agama Republik Indonesia. Al-Quran dan
Tafsirnya vol IV. 2012
Khazin, Muhyiddin. Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik.
Yogyakarta: Buana Pustaka. 2011
Nadwi (al), Abdul Hasan Ali Hasan. Sejarah Lengkap Nabi
Muhammad saw. Terj. Muhammad Halabi Hamdi. Yogyakarta: Darul Manar. 2012
Ramdan, Anton. Islam dan Astronomi. Jakarta: Bee
Media. 2009
T{a>i (al), Muhammad Ba>sil. ‘Ilm al-Falak wa
al-Taqa>wim. Beirut: Da>r al-Nafa>is. 2007
[1]Hadis ini tergolong populer dan diriwayatkan dalam
berbagai kitab, diantaranya adalah S}ahi<h Bukha>ri> dalam kitab al-S{aum
bab Qaul al-Nabi saw La> Naktub wala> Naksub dengan nomor indeks
1913. Hadis ini diriwayatkan Bukhari dari Adam dari Shu’bah dari al-As’ad bin
Qais dari Sa’d bin ‘Amr dari Ibn ‘Umar. Al-Bukha>ri. Ja>mi’ Shahih
al-Bukha>ri II. (Kairo: Matba’ah al-Salafiyyah, T.t), 33
[2]Definisi ini dijelaskan lebih
detail dengan beberapa kriteria, yakni: a. Bertemu dengan Nabi saw dan menerima
dakwahnya,
dalam waktu lama atau sebentar.
b. Meriwayatkan hadis dari Nabi saw ataupun tidak. c. Ikut berperang pada Nabi saw ataupun tidak. d. Sempat melihat Nabi saw,
sekalipun tidak pernah duduk menemani atau tidak pernah melihat Nabi karena
sebab tertentu (seperti orang buta).
[3]Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah
bin Abi Sufyan adalah putra Yazid yang merupakan khalifah kedua dinasti Umayyah
sekaligus khalifah pertama yang diangkat melalui system monarki dalam sejarah
Islam. Pertikaian politik yang memicu pro-kontra ini bisa jadi pula menjadi alasan
mundurnya Khalid dari perebutan status sebagai penerus tahta hingga saudaranya
Muawiyyah bin Yazid yang kemudian ditahbiskan sebagai khalifah ketiga dinasti
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar